Berjejer anak-anak Adam dengan baju gamis panjang, pancaran pesona jubah.
Nampak alim bak seorang khultus keimanan berbalut pakaian.
Komat-kamit mantra khutbah sampai berbusa-busa.
Kajian rutinan berisi kicauan tentang ibadah berbalas surga.
Tren hijrah meledak, ukuran spiritual keimanan sekedar busana.
Memahami Al Quran sekedar konstektual belaka.
Beribadah sholat sekedar rutinitas takut api neraka, berharap surga.
Berbagi demi eksistensi bukan dasar kemanusiaan.
Khusuk membaca Al Quran, mengabaikan bacaan ilmu lainnya.
Ketika kita tertinggal, menyalahkan kaum kafir yang khusuk belajar.
Teologi agama diabaikan, fatwa Ulama jadi bahan tertawaan.
Bukan pakar ilmu, merasa paling tahu, paling fasih, paling faham.
Kita sesama Muslim mengapa saling berdebat masalah perbedaan.
Bukankah beda ideologi itu indah, beda pandangan itu berwarna.
Kita beragama menumbuhkan humanism keberagaman.
Mencintai Tuhan ikhlas, selanyaknya Tuhan mencintai hambaNya.
Kita sesat akan tercerahkan dengan jalan dunia filsafat.
Kita dhaif akan menyala intelektual dengan menyelami samudra pengetahuan.
Kita miskin akan berpijar kekayaan dengan berbagi syukur kepada sesama.
Kita akan hidup damai dengan renungan petualangan malam.
Lilin-lilin ayat-ayat Al Qur’an penyembuh penyakit hati.
Kebersihan hati meredam pertikaian tak kunjung habisnya.
Tawadhu’ obat ketamakan pujian orang-orang, pelipur hati sesungguhnya.
Murabbi pembimbing menghapus keresahan dunia fana.
Hanyalah hamba penuh dosa.
Mendaki gunung kehidupan.
Puncak perasaan kebathinan.
Hampa, sunyi, hikmah, taubat
Oleh : Ulfa Diyanti (Mahasiswa IAIN Surakarta)